Selasa, 21 Mei 2013

Penderita Gangguan Jiwa di Indonesia Ada 1 Juta, Hanya 10% yang Berobat

Penderita Gangguan Jiwa di Indonesia Ada 1 Juta, Hanya 10% yang Berobat




Jakarta, Berbeda dengan penyakit fisik seperti pilek ataupun sakit jantung yang mudah dideteksi gejalanya sejak dini, penyakit mental lebih sulit dideteksi. Tak hanya itu, banyak masyarakat yang mengalami gangguan jiwa tidak memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan karena berbagai hal

"Yang sakit dengan yang datang berobat itu sangat jauh. Hanya 10 persen dari penderita yang pernah berobat ke rumah sakit jiwa atau fasilitas kesehatan lainnya," kata dr Edduar Idul Riyadi, SpKJ, Kasubdit Kelompok Berisiko Ditjen Bina Kesehatan Jiwa Kemenkes RI

Dalam acara peluncuran Unit Mobile Mental health Service di GOR Bulungan, Jakarta Selatan, Senin (20/5/2013), dr Eduard yang akrab disapa dengan nama Edi ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab minimnya penderita gangguan jiwa yang memeriksakan diri adalah karena masalah akses pelayanan kesehatan.

Di Indonesia, rumah sakit jiwa yang dimiliki pemerintah hanya 33 buah. Sedangkan rumah sakit jiwa atau klinik-klinik penderita gangguan jiwa yang dikelola swasta berjumlah sekitar 40-an. Jumlah ini dirasa masih sangat kurang karena penderita gangguan jiwa di Indonesia masih cukup banyak.

"Penderita gangguan jiwa hasil Riskesdas 2007 itu yang berat saja ada 0,64 persen atau sekitar hampir sejuta dari seluruh penduduk Indonesia. Nah, di beberapa daerah juga tidak ada RSJ. Ada 8 provinsi, khususnya provinsi pemekaran, yang belum memiliki fasilitas kesehatan jiwa," terang dr Edi.

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan jiwa. Dr Edi mengaku pihaknya sudah mendorong rumah sakit pemerintah di daerah untuk membuka fasilitas rawat bagi penderita gangguan jiwa. Selama ini, rumah sakit umum di daerah memang tidak merawat penderita gangguan jiwa.

Praktiknya, rumah sakit pemerintah di daerah yang mampu diminta membuka pelayanan rawat inap minimal 10 tempat tidur. Pelayanan ini dikhususkan untuk pasien gangguan jiwa, sehingga pasien gangguan jiwa akan lebih terlayani. Namun masalah pelayanan ini juga harus diikuti penambahan SDM yang berkualitas.

"SDM kita juga masih rendah, khususnya tenaga psikiater masih kurang. Ada sekitar 650 atau hampir 700 orang psikiater di seluruh Indonesia dan masih terpusat di kota-kota besar, tidak menyebar ke seluruh Indonesia," terang dr Edi.


(pah/vit)

Kurangnya SDM dan fasilitas rawat bagi penderita gangguan jiwa merupakan penyebab utama munculnya angka yang relatif tinggi penderita gangguan jiwa di Indonesia. Umumnya, rumah sakit Indonesia lebih mengutamakan pasien yang memiliki penyakit yang tampak dan jelas padahal awal mula penyakit merupakan dari tidak ketahanan seseorang terhadap sesuatu  sehingga menimbulkan stres dan berakibat langsung pada tubuhnya.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli akan kesehatan jiwa dan pikiran agar berdampak bagi tubuh dan aktifitas sehari-hari.
Pada zaman sekarang sudah banyak, para psikolog dan psikiater bahkan motivator ikut serta dalam mengatasi bahkan mengurangi masalah ini, mereka bekerja sebagai dasar untuk memotivasi mereka untuk berpikir positif dan memberikan cara ampuh untuk menghadapi stres. Nah, selain itu untuk mengurangi penderita gangguan jiwa diperlukan sesuatu yang lebih intens dan lebih pribadi yaitu mendekatkan diri terhadap Pencipta-Mu. 

Survei juga membuktikan bahwa penderita gangguan jiwa lebih banyak diderita oleh orang-orang yang memiliki IQ (intelektual) tinggi daripada orang-orang yang IQ rendah, hal ini juga diambil garis besar bahwa hal yang dapat menjadi kesuksesan hidupmu bukan pada daya IQ dan kepuasaanmu akan suatu hal melainkan dari keseimbangan jiwa dan pemikiranmu terhadap kehidupan di dunia dan dengan Pencipta-Mu.
Hal ini mutlak dijelaskan dengan konsep yin dan yang (china), bahwa sisi gelap dan terangmu harus seimbang ..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar